Jumat, 25 September 2009

Tampon dan Kondom.


“Negatif? Positif? Negatif atau Positif ya?” Deg deg deg. “Satu garis merah atau dua garis ya?” Saat-saat mendebarkan antara ingin melihat atau ngga. Berjuta perasaan yang muncul bersama debaran ini ingin sekali rasanya saya bunuh.

***


Saya dan testpack kini telah menjadi sahabat yang saling percaya. Gimana ngga? Dulu iklan testpack hanya saya lihat di televisi dan beberapa sempat saya lihat di surat kabar. Iklan-iklan produk ini kerap saya acuhkan. Saya melihatnya dengan sebelah mata walaupun tanpa berkata-kata melecehkan, hanya saja (seperti) berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan memilihnya menjadi sahabat dalam waktu dekat.

Ya, itu dulu.

Ketika kata “bermain kelamin” masih berada jauh di luar dunia saya. Saya masih seorang gadis yang lugu, tapi tidak naif memandang hidup. Saya mempunyai prinsip bahwa kelamin akan diajak bermain jika waktunya tepat dan bersama orang yang tepat dalam sebuah ikatan yang kuat. Tentu saja ini sebuah janji tulus yang saya buat dengan sesadar-sadarnya ketika saya berusia di awal 20 tahunan.

Hingga, pada satu hari dimana saya mulai menangis karena panik mengetahui siklus bulanan saya sudah telat lebih dari dua minggu. Tanda-tanda akan mens belum sedikit pun terasa menyiksa. Payudara yang biasanya membengkak dan sakit beberapa hari menjelang hari H yang dulu sering membuat saya jengkel, saat itu kehadirannya menjadi sangat saya rindukan. Bahkan penderitaan akibat pinggang yang pegal, yang dulu rasanya ingin saya lepas dan tinggalkan di kamar agar tidak mengganggu aktivitas pun saya doakan kehadirannya.

Andai saja waktu itu saya masih seorang gadis yang memegang teguh idealisme untuk tidak bercanda dengan kelamin lawan jenis sebelum waktunya, tentunya saya tidak perlu sepanik itu. Saya hanya perlu menunggu dan positive thinking karena tidak ada yang perlu ditakuti, toh siklus menstruasi saya memang belum teratur sesuai hitungan 28 hari.

Tapi itu semua menjadi lain ceritanya ketika saya tahu bahwa penyebab telatnya tamu tetap saya adalah karena sesuatu yang saya sadari. Kesadaran bahwa kenikmatan 10 menit itu harus saya bayar dengan tangisan, amarah, dan ketakutan. Saya pun tidak henti-hentinya menyalahkan pacar yang waktu itu tidak bisa menahan nafsunya. Lalu memaki diri sendiri karena terlalu rapuh dan tidak bisa mengendalikan hasrat.

Andaikan saya masih bisa kembali ke masa dimana keputusan bodoh nan nikmat itu kami buat tanpa logika dan hanya mengandalkan rasa.

(Kembali ke alam nyata).
Bersama pacar, usaha pun dilakukan. Saya mencoba memancing menstruasi dengan berbagai macam cara, mulai dari mencoba kapsul telat bulan sampai jamu racikan peluruh. Mencari mbok jamu gendong keliling sampai mendatangi depot jamu acungan jempol rekomendasi seorang tukang pijit. Tanpa hasil. Browsing di internet pun menjadi alternatif berikutnya untuk mencari cara agar mens bersedia mampir bulan itu. Sebuah situs memaparkan ramuan untuk memancing agar mens yang telat bisa keluar. Saya coba dan masih tidak menunjukkan hasil. Terlalu takut untuk memeriksakan diri ke dokter.

Hampir putus asa dan mencari jalan untuk menghadapi orang tua jika memang ternyata saya hamil.

Lalu, sebuah keputusan akhir yang awalnya dianggap ide cemerlang untuk mendapatkan validitas pun (terpaksa) dilakoni. Keputusan yang membuat saya (berusaha) memutuskan semua urat malu dan menguburkannya di dalam sebuah tempat tersempit di dalam organ tubuh saya. Apotek kecil yang sedikit jauh dari tempat tinggal pun saya dan pacar datangi.

Dengan wajah ramah, apoteker menanyakan, “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Raut wajah saya yang sedari masuk apotek terlihat tegang mungkin bisa dirasakannya. Saya yakin, apoteker pasti bisa merasakan kegalauan saya. Rasa canggung. Rasa rikuh. Dan rasa malu yang tidak bisa saya sembunyikan.

“Mmm, testpack-nya satu, Bu.”

Apoteker paruh baya itu melihat ke arah saya dengan penuh ketenangan. Tak lama sebuah testpack yang sering saya lihat di televisi sudah berada di hadapan saya. Dengan malu-malu saya menerimanya dan menggenggam erat-erat kantong plastik pembungkus berwarna hitam sambil menyodorkan sejumlah uang.

“Ibu sudah tahu cara penggunaannya?” tanya apoteker dengan ramah.

Dahi saya seketika mengernyit. Saya sedang memikirkan sebuah kata, “Ibu?” secepat itukah sapaan Mbak berubah menjadi Ibu hanya karena sebuah testpack? Apakah wajah saya terlihat sedang merindukan seorang bayi? Atau malah terlihat sedang ketakutan menghadapi kehadiran seorang bayi?

Saya berpikir akan bohong atau jujur saja?
Jujur ini kali pertama buat saya. Lalu, saya memilih mengangguk dan pergi sambil tersenyum kaku. Testpack benar-benar telah membuat saya ingin membenamkan kepala saya kedalam tanah. Kebodohan nan nikmat yang harus saya bayar dengan banyak hal membuat saya merasa terlalu berat mengangkat wajah saya untuk melihat wajah apoteker yang hampir seumur Ibu saya.

Saya menutup gordyn jendela kamar dengan rapat dan tidak lupa mengunci pintunya. Dengan seksama saya membaca cara pemakaian testpack perdana ini. “Test harus dilakukan dengan memasukkan testpack kedalam urine, dan sebaiknya pada saat buang air kecil pertama kali di pagi hari setelah bangun tidur.”

Deg deg deg.
Tak sabar menunggu pagi dan merindukan sinar matahari menyelinap masuk melalui gordyn yang sedikit tersingkap.

(Inilah saatnya).
Jantung saya berdegup kencang. Kencang sekali. Saya menunggu hasilnya selama lebih kurang lima menit. Dalam hati saya berdoa, “Negatif. Negatif. Tolong jangan positif, Tuhan.”

Deg deg deg.
Dengan memberanikan diri saya melihat hasilnya. Satu garis merah muda muncul dengan sangat jelas. Saya kembali berdoa, “Jangan muncul satu garis lagi. Satu saja sudah cukup, Tuhan.”

Dan ketakutan itu berakhir sudah. Saya keluar toilet dengan wajah penuh senyuman mengucap syukur di dalam hati, “Terima kasih, Tuhan.”

Hari itu, merupakan hari pertama saya berkenalan dengan sahabat baru saya, testpack. Saya dan testpack telah menjadi sahabat yang saling percaya sejak hari itu. Pengalaman menggunakannya pertama kali membuat kami berangkulan layaknya sepasang sahabat.

Namun, seperti umumnya persahatan dengan sahabat-sahabat saya yang lain, persahabatan saya dengan testpack pun tidak harus selalu ditandai dengan intens-nya pertemuan, tapi saya akan kembali padanya disaat saya membutuhkannya, menjaga rahasia saya dan menenangkan saya dari sebuah ketakutan.

Tapi mengunjunginya di apotek tetap menimbulkan rasa malu tak ada habisnya. Bahkan mencobanya tetap menimbulkan debaran yang sama. “Negatif? Positif? Negatif atau Positif, ya?”


**sekelumit cerita dari balik tampon dan kondom milik seorang teman*
[lily nailufar, 2009]

Cerita Tanpa Awalan.


Sebuah Kisah Cinta Berakhir Tanpa Awalan Disini.
Kutarik layar MIMPI dengan paksa, agar tak pernah tiba di daratan HARAPAN.**

‘Tepikan MimpiKU,,

Akan Ku-tepikan pria berhargaKu.
Pria bernama Mimpi yang ingin segera menghampiri butiran-butiran mutiara hidup yang Kuberi nama Harapan.

Kupaksakan Mimpi menepi sebelum dia sempat menyentuh daratan kehidupan yang penuh Harapan. Bukannya Aku tak ingin Mimpi terus berlayar sampai tujuannya. Aku sangat ingin. Tapi layar Mimpi belum terbukti cukup kuat untuk Kubiarkan berlayar sampai ke daratan Harapan.

Kehadiran Mimpi dengan sejuta pesonanya telah memacu fatamorganaKu untuk berkhayal lebih liar. Membiarkan anganKu terbang bebas tanpa aturan di awang-awang maya. Mimpi benar-benar membuai rasionalitasKu. Aku menikmati dan enggan beranjak pergi. Aku terus bermain di surga rekayasanya.

Indah. Sangat sangat indah.
Kunikmati rasanya Mimpi menggauli hariKu. Tak ingin kembali ke dunia nyata. 1/2 jiwaKu telah terpasung didalam pelukannya. Ingin terus berada dalam buaian asmara. Mimpi telah menjebakKu dalam sejuta pekat warnanya. Dia bersembunyi di dalam geliat alam bawah sadarKu. Muncul disaat-saat yang Aku inginkan. Datang menghantui kehidupanKu sesuka hatinya. Tidak lagi datang dengan rencana, seperti sebelumnya.

1/2 jiwaKu yang masih terbungkus logika bergerak merayap dengan pelan berusaha menggapai alam bawah sadarKu, menarik sekuat dia mampu, dan memaksaKu kembali ke alam sadar.

“Ayo, lihat Masa Depan. Jangan terus terbuai. Mimpi akan pergi sesukanya. Tapi tidak dengan Masa Depan. Bangun. Buka mata dan kembali ke kehidupanMu,” bisik 1/2 jiwaKu yang masih terisi logika.

“Terima kasih,”
UcapKu penuh ketulusan kepada JiwaKu yang masih disinari Harapan. Kepercayaan diri untuk menggenggam erat Masa Depan muncul begitu saja.

JiwaKu membisikkan sepenggal kalimat ditelinga Masa Depan. Wajahnya menyiratkan permohonan besar, “Kumohon, berikan pernghargaan terbesar pada Harapan. Jangan biarkan harap-Nya membusuk tanpa Masa Depan. Kumohon, dampingi Raga-Nya.”

Masa Depan mengangguk. Tersenyum menatapKu. Aku tak mampu membalas tatapannya. Secarik kertas berwarna putih dan bertuliskan kalimat sederhana dikantonginya di saku celana jeans-Ku.

“Aku akan bersama-Mu. Menemani-Mu. Mendampingi-Mu. Menjaga-Mu. SemampuKu. SebisaKu. Ajari Aku cara membahagiakan-Mu. Aku akan memenuhi rongga hidup-Mu dengan sinar Harapan berjanjikan Masa Depan. Jangan pernah lari dariKu, walau dalam keadaan sesulit apapun itu. Berjanjilah.”

Tak ada kata yang tepat untuk Kurangkai. SebisaKu, Kusimpan aura bahagia yang dipancarkan pipi-pipi kecilKu yang merona. Aku tersenyum memandang Harapan dan Masa Depan bergantian. Kurangkul bahu-bahu besar mereka. Aku ingin berteriak mengucapkan kalimat sakti yang Kupendam di rongga mulutKu, “Terima Kasih.”

Aku berpaling.
Disana, Mimpi masih menungguKu. Dengan tangan terbuka Dia ingin mengajakKu menikmati kenikmatan Dunia-Nya.

Aku menoleh kembali.
Di sisiKu, Harapan dan Masa Depan menatapKu dengan ketulusan. Mereka tersenyum.

Aku kembali berada di titik nol. Aku ingin terus terbuai Mimpi tapi Aku tidak bisa mengacuhkan permohonan yang dibisikkan Harapan pada Masa Depan.
RohKu kembali terjaga. Aku kembali bisa merasakan udara pengap di ruang Hati kecilKu.

Aku berkali-kali melirik ke arah Mimpi, Harapan, dan Masa Depan bergantian.
Mimpi terus berusaha membujukKu dengan pemikatnya.
Harapan menatapKu dengan pengertian, “Keputusan ada ditangan Kamu, sekarang!”
Masa depan menyunggingkan senyuman dalam sebuah siratan yang dapat Kutangkap maksudnya.

Mimpi, Harapan, dan Masa Depan memiliki arti tersendiri di dalam hidupKu. Mereka telah memberi banyak arti dan mempersembahkan kebahagiaan dengan cara yang berbeda. Aku meresapi dengan pasti setiap guliran waktu bersama. Aku bergeming. Diam memikirkan langkahKu.

“Aku harus bagaimana?” bisikKu sembunyi-sembunyi pada jiwaKu.
“Ikuti kata hatiMu. Dia tahu apa maunya,” balas JiwaKu.
“HatiKu tidak bisa memilih,” tandasKu.
“Buka mataMu. Ikuti pendar sinarNya. Dia akan tahu jalannya,” nasehat JiwaKu.
“MataKu tiba-tiba menjadi buta!” engganKu.
“Kalau begitu, tanyakan padaKu, Jiwa pasti bisa menuntunMu!” tegas JiwaKu.

Aku tidak percaya dan malah berbalik teriak membantah inginnya JiwaKu.

“Haruskah Aku percaya?” tanyaKu pada Jiwa.
“Jiwa tidak pernah berbohong sekalipun Raga tak bernyawa. Hati mungkin masih bisa mencoba menaifkan pilihannya. Tapi tidak dengan Jiwa. Jiwa selalu mengisi Raga dengan binar-binar kehidupan. Raga bisa mati, tapi tidak dengan Jiwa. Percaya padaKu!” ujar JiwaKu menceramahiKu dengan petuah bijaknya.

Aku kembali terdiam. “Bisakah Kuikuti saran Jiwa?” pikirKu berulang kali.
Berikutnya, Kucoba memaki Waktu. Mengacak-acak ruangnya mencari kesalahannya. Ingin rasanya membanting Waktu. Agar Dia tidak datang pada saat Aku berpapasan dengan Mimpi, agar terus membiarkanKu membaktikan setiaKu pada Masa Depan.

Kuterdiam cukup lama.
Mencoba mencermati fase kehidupan yang telah Kulalui bersama Waktu. Waktu terpaku di depanKu menanti dengan sabar amarahKu yang akan meledak. Menunggu dengan tenang sebuah tamparan melayang dari tanganKu. Aku memandangnya dalam, masih mencari sela menjadikannya kambing-hitam dari semua prahara yang berkecamuk di dalam duniaKu. Waktu masih menunggu, hingga Aku berbalik melotot setengah murka merasakan sebuah tamparan untuk menyadarkanKu.

“Mau menunggu berapa lama lagi untuk mencari penyesalan? Masih ingin menyalahkanKu?” tanya Waktu dengan keras kepadaKu.

BibirKu tidak jadi memaki. Kutarik segera kata-kataKu. Kuputar otakKu untuk berpikir.

“Maafkan Aku. Ini bukan salah Kamu. Waktu berjalan begitu saja. Iya, kan?” tanyaKu.
“Jangan pernah mencari kesalahan dari sudut manapun. Tidak Waktu, tidak Tempat, tidak Keadaan, tidak juga HatiMu, bahkan jangan pernah menanyakan jawabannya pada Tuhan-Mu,” bijak Jiwa menimpali pembicaraanKu dengan Waktu.
“Lalu, ini salah siapa? SalahKu kah?” tanyaKu semakin tidak mengerti.
“Ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya Jalan Tuhan. Setiap pertemuan pasti menyimpan sebuah rencana,” usaha Jiwa menenangkanKu.
“Rencana? Rencana apa?” tanyaKu semakin tak sabar.
“Biarkan Aku yang menjawab semua pertanyaanMu. Nanti. Suatu saat. Pasti!” timpal Waktu.
“Kamu?” tanyaKu tidak percaya pada Waktu.
“Ya! Aku! Lewat Waktu-lah, Tuhan menjawab semua rahasia hidup ini,” tandas Waktu mengakhiri perbincangan.
“Akan sampai kapan?” kejarKu.

Waktu berjalan meninggalkanKu yang masih bertanya dalam ketidakpuasan. Waktu melenggang pergi, kembali ke peraduannya. MeninggalkanKu yang masih diselimuti pertanyaan besar. Jiwa masih berdiri menghadap ke arahKu berusaha menggandengKu.

Kubiarkan Jiwa menggandengKu dengan kelembutannya. Hanya dia yang mungkin bisa mengerti gemuruh yang terjadi di dalam sana. Di dalam JiwaKu. Bahkan bisik kecil HatiKu yang tidak terucap jelas.

“Jangan biarkan kebingungan tak berakhir ini menyembunyikan pesonaMu. Kembalilah pada kehidupanMu. Carilah kebahagiaan lewat HatiMu sendiri. Aku yakin, Kamu bisa. Hadapi segala kemungkinan. Kamu terlalu kuat untuk menyatakan menyerah. Ini hidupMu,” yakin Jiwa menenangkanKu.

Aku kembali memandang Mimpi, Harapan, dan Masa Depan untuk ketiga kalinya. Aku cari jawaban lewat mataKu. Kudengarkan Hati menyamakan pilihannya. Kupaksakan Hati memberikan jawaban terjujurnya. Hati menjawab dengan pasti kali ini.

“Aku setuju dengan pilihanMu,” ujar Hati dengan tegas padaKu.
“Kamu yakin ini pilihan yang tepat?” tanyaKu memastikan.
“Hidup harus memilih. Keyakinan adalah kunci pilihan, bukan?” Hati balik bertanya.

Aku mengangguk dengan cepat. Kuberikan senyuman terbaikKu pada Hati. Kubisikkan ucapan “Terima Kasih” lewat kerlingan mataKu. Hati membalas dengan sebuah anggukan.

Aku berjalan mendekati Mimpi dan Masa Depan. Harapan memandang dengan penuh degupan ke arah langkahKu. Harapan membiarkan bibirnya tak henti memanjatkan sebuah doa agar Aku bisa mengambil keputusan terbaik untuk hidupKu.

Aku melangkah semakin dekat. Degup jantung Harapan terdengar semakin keras. Kekhawatirannya melebihi kekhawatiranKu. Aku yakin, Harapan menyimpan kecemasannya sendiri untuk kebahagiaanKu.

“Deg. Deg. Deg.”
Ini bunyi jantungKu yang berdetak lebih cepat ketika pilihan akan Aku tentukan.

Aku mendaratkan sebuah ciuman tulus di dahi Masa Depan. Lalu menggandengnya. Masa Depan memelukKu dalam sebuah kehangatan yang menjalari seluruh aliran syaraf RagaKu. Kehangatan yang Kukenal jauh sebelum Mimpi menghampiri.

Aku kenal rasanya saat bersama Masa Depan.
Gemuruh perasaan yang Kurasakan 1.5 tahun bersamanya. Desahan nafas yang Kukenal hawanya. Degupan jantung yang Kuhafal ritmenya. Tatapan mata yang mampu Kuartikan seluruhnya. Pelukan itu mengembalikan semua perasaan yang hampir hampa saat Mimpi datang menyapaKu.

Aku biarkan tangan Masa Depan terus menggandengKu. Kuajak Dia menghampiri Mimpi. Masa Depan menggeleng, melepaskan genggamanKu dan membiarkanKu mendekati Mimpi sendiri. Aku yakin Masa Depan akan mengatakan, “Ini urusan Kamu dan Dia. Selesaikan dengan cara Kamu.”

Aku sangat yakin.
Kumenoleh ke arah Masa Depan memastikan jawabannya. Masa Depan mengangguk, bibirnya bergerak mengucapkan, “Aku percaya Kamu!”Pernyataan yang cukup untuk membuatKu yakin melangkah menyelesaikan hubungan yang ada diantara Aku dan Mimpi selama ini.

Kudekati Mimpi.
Wajahnya masih menyiratkan sebuah keinginan agar Aku bersedia menari-nari dalam DuniaNya. Menemaninya sepanjang waktu menjelajah hari. Mimpi adalah kenikmatan bagiKu, membuatKu mabuk kepayang. Tapi bagaimanapun indahnya Mimpi, Aku harus segera bisa kembali menghadapi kenyataan. Kehidupan sebenarnya tidak seindah tawaran Mimpi.

Aku hampir tak mampu mengucapkan sepatah kata pun ketika wajahKu dan wajah Mimpi berhadapan. Siratan harap terpancar jelas dalam keseluruhan bahasa tubuh yang Mimpi tunjukkan. Tapi, keputusan harus segera Aku berikan. Aku sudah memilih, bukan?

Aku coba berjinjit untuk menggapai telinga Mimpi untuk membisikkan kalimat yang Aku tidak ingin semua orang tahu, “Maafin Aku, ya? Aku memilih bersama Masa Depan Bukan karena Harapan. Tapi HatiKu-lah yang memilih. Tapi, tetap tersimpan ruang kecil dalam WaktuKu untuk Kamu. Terima Kasih untuk semua kebahagiaan ini dan mengajakKu bermain di Taman Mimpi bersama-Mu.”

"Terima kasih!"

Selasa, 22 September 2009

Jangan Pulang Sebelum Padam


Dingin tapi hampa. Ada kesunyian yang merayap di tengah raga yang menggelora. Seperti repihan senyawa yang bercecer diantara sekian reaksi. Berasa meledak tapi tak bernyali. Hanya diam tapi ingin bergelinjang. Ah, mati aku.

***

Bergeming Dia, diantara Aku. Oh salah, bergeming Aku diantara Dia. Dia yang berada tepat di hadapanKu dengan geloranya. Gelora yang sama dengan geliat tarian bunga-bunga di musim semi. Seksi. Seksi sekali. Ingin rasanya semua kulumat utuh tanpa menyisakan repihan.

“Nyam-nyam-nyam.”

Pastinya akan jadi sebuah lumatan fenomenal. Andai Aku melumatnya sambil bersiul. Siulan kenikmatan.

“Du-du-du-la-la-la-la...”

Dan Dia di seberang sana tampak mengerang. Mengerang dalam kenikmatan.

“Ahh,-“

Aku hanya tersipu. Malu-malu menatap binar mata yang beradu diantara Kami. Aku menunduk salah tingkah dan mengumpulkan jiwa biar beradu dengan rasanya mencapai titik kenikmatan tertinggi. Si orang ketiga yang bernama o-r-g-a-s-m-e.

“Hai Nona atau Tuan Orgasme,” sapa Dia.

Aku hanya diam tetap tersipu malu. Tuan atau Nona Orgasme mengangkat daguKu dan menatapKu lekat. Selekat beuleukat. Aku menunduk memastikan bagian tubuhKu tidak ada yang menggelinjang senang.

“Apa kabarmu?” ujar Tuan atau Nona Orgasme lembut.

Aku hanya mengangguk pelan. Tak berani menjawab. Terpekur dalam diam labilKu ingin menjawab tapi berpikir apa harus?

Tapi di dalam sini semua sedang berpesta pora senang. Girang. Laksana mendapat undian sepekan di petang hari. Dan sedang menari di atas gunungan lembaran kupon undian yang berserakan di padang pasir.

“Syubidub la-bamba. Tra-la-la-la.”

Tapi.

Tapi ya itu tadi. Itu rekayasaKu amoralKu. Kenikmatan dalam imaji yang tak terpenjara tapi memilih bergeming saja. Ayo diam. Dan hanya diam. Tanpa suara. Tanpa gerakan. Tanpa desahan. Bisakah diam?

Aku melirik ke arah Dia yang menggeleng. Cucuran keringat menetes dari segala penjuru tubuhnya. Aku hanya menutup mata. Tuan atau Nona Orgasme sedang menonton pergulatan ini dengan berdebar.

Aku sudah tak tahan untuk diam. Satu klip-on yang tersangkut di antara properti milik Ntah Siapa di dalam sini Aku tarik paksa dan sekatkan di antara bibirKu.

“Uhh. Oohh,” suara desahanKu perlahan.

Berusaha menahan. Sepelan mungkin. Sehalus mungkin. Dan berjaga agar terdengar tidak sumbang.

“Ohhh...”

Satu desahan yang Aku coba nyanyikan. Dia tersenyum dalam basuhan peluhnya yang semakin deras menetes.

“Hanya itu rasanya?”

Tiba-tiba Tuan atau Nona Orgasme tepat berada di depan wajah binalKu. Aku tersipu.

Dia semakin menggelinjang dan berguncang. Aku kaget. RasaKu tiba-tiba menghilang.

Erangan nikmatKu berganti makian. “Bajingan.”

“Ahhhhhhhhh..”

Suara panjang berdesah tanpa jeda bergema di sekitar ruang properti tepat pada saat satu guyuran bagai banjir bandang menerjang geliatKu. Aku terdiam. Dan lupa rasanya. Aku mencari-cari rasanya. Masih berusaha mencari.

Lupa.

Tuan atau Nona Orgasme marah besar pada Dia. Dia yang sedang terkulai lemas di ujung sana merapikan dirinya sambil tersenyum dalam penuh kepuasan. Aku terkulai lemas di ujung sini masih mencari cara menikmati apa yang Dia nikmati.

Berusaha merangkak mendekati Dia yang masih terduduk membersihkan diri dengan mengacuhkan Tuan atau Nona Orgasme yang terus meracau.

“Bla-bla-bla- Jadi harus bla-bla-bla. Prat-pret-prot kalau mau bla-bla-bla. Pret-prot-bla-bla sebelum bla-pret-bla-prot.”

“Hei Kampret!” tunjuk Tuan Orgasme pada Dia yang dianggap egois.

Dia hanya terkulai lemas tak berdaya bagai habis ikut menjadi pasukan di perang dunia. Aku terus merangkak menggapai Dia. Merasa ada yang harus dituntaskan saat ini juga. Detik ini juga. Ada ganjalan yang ingin meledak di dalam sini.

Di dalam sana juga barangkali.

Disitu juga. Disini apalagi. Aduh, disana-sini masih bergelora.

Aku bingung menafsirkan mauKu sendiri. Aku terus berusaha menggapai Dia. Sampai Nona Orgasme meraih tanganKu yang terkulai lemas tak mampu lagi merangkak hanya mampu bersandar pada dinding-dinding kosong di dekat Ntah Siapa. Aku merapat pada Ntah Siapa.

“Kembali pada Dia,” ajak manis Nona Orgasme.

Aku mengacuhkan Nona Orgasme. Aku menengadahkan geloraKu pada Ntah Siapa. Aku memohon padanya dengan wajah berpeluh dan berselimut rangsangan.

“Aku lelah menghadapi Dia.”

Dia yang duduk di ujung sana melihat ke arahKu dengan wajah ingin tapi tak ingin.

“Tolong-bantu-Aku.Jangan-pergi-sebelum-padam.Aku-ingin-menggelinjang-Seperti Dia.Ingin-sekali.”

Ujarku pada Ntah Siapa sambil menunjuk Dua Lilin yang sedang saling menindih di ujung lain ruangan. Terus berpijar. Menggelora. Bersinar. Bersama menerangi ruangan sempit berisi properti ini.

“Dan-Seperti-Mereka.-Mereka.-Dan-Dia.-Dia.-Dia-juga.-Juga-Dia-dan-Mereka.”

Aku hanya ingin seperti Dia dan Mereka yang bergumul dalam perhelatan rasa dan raga di ujung sana tanpa rasa seperti bercinta dengan diri sendiri.

“Tolong jangan pulang sebelum geloraKu padam.”

Nona Orgasme tersenyum kepada Ntah Siapa dengan tatapan memohon.

“Aku letih menggelinjang tertahan. Rasanya lebih baik mati saja. Jadi tolong bunuh Aku kali ini dengan kenikmatan,” pinta Nona Orgasmpe pada Ntah Siapa.

Di ujung sana, Tuan Orgasme menempeleng kepala Dia berkali-kali.

“Dasar tolol! Sudah berapa kelas Kau ikuti tapi masih tolol juga?”

“Aa-kk-uuu hhaa-nn-..”

Satu tempelengan lagi mendarat pada Dia.

“Kembali ke Kelas Dasar. Dan jangan bercinta sebelum Kau tahu etikanya.”

“Bangsat!”

Aku tahu, satu umpatan yang akan Dia makikan di dalam hati tapi suara Hati terdengar sampai keluar. Tuan Orgasme melempar semangkuk sisa banjir bandang ke arah Dia. Dia tenggelam. Tenggelam mati dalam lautan spermanya.

“Ah, terima kasih Tuhan. Bukan Aku yang punah dalam kerontang.”

Nona Orgasme menari senang di antara banjir, tetesan peluh keringat, rasa dan raga yang sedang bergeliat.

“Semoga kali ini,-“

Nona Orgasme tersenyum genit pada Tuan Orgasme yang duduk di ujung sana memperhatikan dengan berdebar ke arah Ntah Siapa.

***

[Duduk manis diantara tumpukan pola boneka sambil berimajinasi sedikit nakal. Denpasar, 23 September 2009]

Kamis, 03 September 2009

ay, lofyu!


Hidup ngga lagi sama setelah hadirMu, 
Aku melihat matahari datang terlalu pagi dan bersinar dengan terik tapi tidak menyakitiKu, 
Aku bernafas dalam udaraMu, 
Aku tersenyum dalam gelakMu, 
Aku dipeluk dalam hangatMu, 
Aku dicium dalam manis bibirMu, 
Aku mena
tap dalam ke kedalaman hatiMu, 
Aku menanti bintang dan menikmati kerlipnya seperti binar mataMu, 
Aku membiarkan cinta membuatKu menangis! 
[ay,lofyu!]

Rabu, 02 September 2009

I'm A Sperm-shopper.


Berbelanja itu therapy. Itu kataKu. Aku menikmati waktunya dan punya keinginan suatu hari pusat perbelanjaan ingin bisa Aku miliki. Satu saja. Dua juga boleh. Kalau ada tiga, kenapa tidak? Aku senang menenteng segala plastik belanjaan. Ada rasa memiliki teramat sangat. Tapi terpikir olehKu, bagaimana jika salah satu plastik belanjaan itu berisi tabung-tabung berisi sperma? Apakah akan sama menyenangkannya?


****

Satu gelas kopi hangat, setoples kastangel, dan laptop menemaniKu menghabiskan sisa malam. Ada kehangatan yang menyusup ke dalam tenggorokan, bermain dengan adrenalin, dan memancing Otak Kanan untuk lembur. 

"Nggak masalah," kata Otak Kanan.
"Ndasmu itu! Sudahlah, berhenti bermain khayalan. Aku capek!" kata Otak Kiri.
"Ojo ngurusi hidupKu, Bro!" Otak Kanan berkata ketus.

Aku hanya diam dan menikmati perdebatan mereka. Seru, Ku rasa. Sesekali membiarkan mereka berdebat memperebutkan posisi yang paling mereka suka, Aku hanya menarik nafas dalam lalu menghardik Otak Kanan dan Otak Kiri bersamaan, di saat mereka masih adu argumen.

"C-U-K-U-P!" teriakKu.
"Tapi,..." usaha Otak Kanan untuk membela posisinya.
"DIAM!" lirikKu sadis.

Aku melihat Otak Kiri tersenyum mengejek. Otak Kanan menghela nafas dan mulai bernyanyi dengan nada minor.

"Pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku-u-u-u. Dulu, segeng-..." 
"Setan! Bisa diam, nggak?" ujarKu pada Otak Kanan dan melihatnya dengan sorot mata dalam.

Otak Kanan diam dan menyendiri di sudut ruang hampa bernama pikiran. Otak Kiri mulai mengambil perhitungan dan memprediksi segala kemungkinan lalu menyodorkan kepadaKu dengan wajah tanpa ekspresi.

"Aku ngga butuh!" kataKu sambil merobek segala proposalnya. 

Otak Kiri hanya diam dan mencoba berpikir menghitung segala rumusan logika. Aku melirik ke arah jendela, dimana seorang Perempuan mengenakan dress hitam berjalan dengan bergegas ke arah rumah.

"Siapa dia?" ujarKu setengah berbisik.
Otak Kanan dan Otak Kiri bergegas ikut melirik ke jendela.
Otak Kanan dengan segala keisengannya bilang, "Gadis penjaja vagina!" bicara seenaknya lalu terkikik. Otak Kiri langsung membantah, "Kalau Perempuan itu bukan pemilik rumah, bisa jadi dia adalah saudara Perempuan dari Perempuan atau Laki-laki pemilik rumah."

"Ah, ulasan nggak penting!" ujarKu berusaha mengejek segala logikanya.
"Hi-hi-hi, hidup itu nggak perlu hitungan matematis," ujar Otak Kanan menimpali, lalu sambungnya, "Kadang hidup harus sedikit artistik!"

Aku berusaha setuju dengan kata-kata Otak Kanan. Lalu berpikir keras. "Apa ya yang dibawa Perempuan Bergaun Hitam itu?"

"APA BENAR DIA MENENTENG TABUNG-TABUNG SPERMA DI DALAM KRESEK HITAM MILIKNYA?" ujarKu ingin tahu. 

Bisa saja. Tak ada yang tak mungkin.
Lihat Aku. UmurKu tak jauh berbeda dengan Perempuan Bergaun Hitam. Dari penampilannya, bisa ditebak kalau Perempuan Bergaun Hitam berusia sekitar tiga puluh tahunan. Cantik. Modern. Tampak cerdas. Dan, bermateri.

Tapi kenapa di akhir minggu seperti ini Perempuan Bergaun Hitam malah jalan sendirian? "Lalu dimana Lelakinya?"

Sepanjang malam dengan ditemani kopi, Aku mencoba menunggu siapakah gerangan Lelaki yang mampu menaklukkan Perempuan Bergaun Hitam. Hingga menjelang pagi tak ada satu pun Lelaki yang datang. Perempuan Bergaun Hitam pulang dan pergi sesuka hati kembali dengan membawa kantung-kantung hitam berjalan bergegas menuju rumah.

Aku pun penasaran. Mencoba mencari tahu. Mengintip ke dalam rumah mungil yang berada di sudut jalan tepat berhadapan dengan rumahKu. Aku bicara pada Otak Kanan dan Otak Kiri yang ikut menemaniKu, "Apa sih pekerjaannya? Mondar-mandir dari rumah ntah kemana!"

Otak Kanan menjawab sambil cekikikan, "PSK!"
Otak Kiri menimpali, "Hush! Lebih baik mulai berhitung jarak tempuh perjalanannya!"
Otak Kanan melihat Otak Kiri dengan pandangan tidak suka, "APA?"

Sebelum Otak Kiri mulai menjawab dan berdebat dengan Otak Kanan, satu tepukan tepat di pundakKu hampir membuatKu pingsan. Bergetar. Kaget. Ketakutan. Speechless. Suara lembut dan manja berbisik di telingaKu, "Aku pembeli Sperma!"

"APA?"
Perempuan Bergaun Hitam menjawab sambil tersenyum manis. Sebelum bibirKu mengatup, Aku sempat bertanya, "Apa ada yang mau membeli kantung telurKu?"

[lily nailufar,2009]

Agama Dilarang Parkir


Ruangan ini terasa lengang. Menurutku. Mewah tapi hampa. Senyap dan tembok-tembok dinding tak terasa mempunyai senyawa. Nyaris mati tanpa suara. Frame berisi potrait dengan beragam ekspresi menghiasi dinding-dinding yang bersih tanpa sedikit pun coretan.
Hanya ada aku. Aku. Aku. Aku. Aku. Disini sendirian. Kesepian. Dan dibalik tembok sebelah sana ada Dia. Dia. Dia. Dia. DIA yang harusnya berada disini. BersamaKu.

****

Aku masih disini dengan tubuh tuaKu yang bergurat indah. Lekukan sempurna. Klasik. Mandiri. Tampaknya begitu. Pahatan indah Sang Maha membuatKu istimewa. Sempurna. Sempurna. Dan, semakin matang. Kedewasaan yang mengantarKu pada kematangan.
Atau jangan-jangan justru matang betulan akibat faktor usia. Ah, tak terasa semakin menuaKu tanpa Dia. Dia yang mengguratkan satu senyuman pada hatiKu yang kelabu.

****

“Mau bagaimana kita?”
“Kabur!”
“Iya. Tapi kemana?”
“Kawin lari saja.”
“Sinting, Kamu!”
“Lebih bikin sinting kalau Kita tetap disini!”
“Mmmm...”
“Aku sudah tidak kuat. Capek.”
“Kamu pikir Aku ngapain?”
“Mau berhenti?”
“Bodoh!”
“Lah, lalu apa?”
“Mati saja!”
“Kapan?”

Aku masih berpikir. Kapan, ya? Akan menjawab apa? Aku masih memperhitungkan jawabanKu dalam hitungan matematis.

“Kapan, ya?” tanyaKu.
“Sekarang saja,” kata HatiKu.
“Jangan deh. Kalau sekarang, Aku belum siap. Masih banyak yang harus Aku bereskan,” ujarKu.

HatiKu mendengar perkataan raguKu di balik semangatKu yang tadinya menyala-nyala bagai kobar api di tungku pemanas. HatiKu hanya menarik nafas dalam lalu mencoba menamparKu.

“Aduh!” ringisKu sambil mengelus pipi kanan.
“Sialan, Kamu!” makiKu.
“Kamu yang bangsat!!” ujar HatiKu.
“Kok AKU?” tanyaKu keras.

YA KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU BANGSAT!

Aku semakin ingin meremasnya menjadi sambal goreng saat itu juga. Dengan tatapan sadis Aku melihat kepadanya dan bersiap dengan sebilah pisau tumpul dan berkarat. 

“Biar mati infeksi,” pikirKu.

Aku pun berjalan mendekat kepadanya bernada mengancam. HatiKu tampak tidak gentar. Bergeming. Tenang. Dia menarik rambutKu dan memaksa kepalaKu melihat ke arah Dia. 
Dia yang masih berdiri disana menunggu jawabanKu.

“Kapan?”
“Mmmm...”

Aku hanya bisa diam mencoba mengarang jawaban.

“Mau ‘mmmm’ sampai kapan?”
“Pancen asu, kowe!” teriak maki HatiKu. “Mau ngambangin dia sampe kapan?”

Aku melirik gemas pada HatiKu dan akan berteriak tepat pada saat mobil box pindahan tepat berhenti di hadapan rumah. Aku panik. Panik sekali.

“Piye iki?” kataKu mencoba mengajak HatiKu berpikir.

Pintu dibuka dengan memaksa lubang kunci yang sudah macet untuk terbuka.

Klik. Klik. Krek.
Rombongan pengangkut barang pindahan masuk dan mulai melirik ke sekitar ruangan. Dia melihatKu masih menunggu jawaban.

“Kapan?”

Aku masih terpaku.
Baru akan menjawab tapi terlambat. TERLAMBAT. Dia, pasangan jiwaKu diseret dengan paksa keluar rumah. Suara teriakannya samar terdengar.

“Beri aku jawabanmu. Please!” 
“Aa-ku...”
Brak. Pintu ruangan tertutup saat tak sengaja kaki Dia tersangkut di daun pintu. Aku pun terisak. Khawatir dia terluka. 
“Aa-ku. Aku sayang kamu!”

TubuhKu bicara dengan suara bergetar menahan tangis pecah, tapi urung menangis saat melihat pintu kembali terbuka.

“Kamu kembali?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Diam. Tak lama, satu hantaman menghantam bagian kepalaKu dan Aku tak sadar apa yang terjadi setelahnya.
Aku mengira Aku mati saat itu juga tanpa pernah sempat mengungkapkan perasaanKu pada Dia. Mati dengan penuh penyesalan. Aku mati. Barangkali.

***

Beberapa tahun setelah kejadian di rumah kosong tak berpenghuni selain Aku dan Dia. Masa lalu. Tahun-tahun terbaik tanpa kepastian. Dan, hingga hari ini.

“Kamu baik-baik saja?”
“Ya!”
“Masih disana?”
“Ya!”
“Mau sampai kapan?”
“Sampai Aku tua dan membusuk!”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ambil satu keputusan!”
“Aku bingung.”
“Harus yakin!”
“Tak tahu caranya. Aku hanya ingin bersamamu.”
“Aku tahu. Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Singkirkan tembok ini agar kita bisa bersatu.”
“Caranya?”

Aku dan Dia sama-sama berpikir. Bagaimana mungkin Aku yang bertahun-tahun renta menunggu ini bisa mempunyai kekuatan untuk menembus tembok tebal yang memisahkan Aku dan Dia dalam ruangan yang berbeda. Aku dan Dia hanya bisa berkata, tapi tidak pernah bisa beraksi.

“Kita ini apa?”
“Sepasang kekasih.”
“Cintakah Kamu padaKu?”
“Apa yang Kamu rasa?”
“Nyaman.”
“Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Bagaimana caranya agar Meja Kayu Jati Tua Berukir ini bisa diterima oleh kaumMu Kursi Minimalis Modern Artistik?”
"Kamu yakin mau bersamaKu? Selamanya?"
"Iya."
"Demi Sang Designer?"
“Sang DesignerKu atau Sang DesignerMu? ”
"Mmmm,.."

“Gampang saja,” sebuah suara yang bukan suaraKu dan suara Dia terdengar.

Tiba-tiba Vas Bunga Baby Rose yang berada di sudut ruang ikut menjawab dengan suara polos dan tanpa ekspresi.

“Meja dan Kursi mau bercinta? Monggo!”

Segampang itu vas Bunga Baby Rose bertanya tanpa perasaan. Sama sekali tak berotak. Tidak berhati.

“Cinta cangkokan aja. Gampang, toh?”
“HAH?” ujarKu dan Dia berbarengan.
“Mingkem! Masalah kalian cuma itu kan?” ujar Vas Bunga Baby Rose dengan muka meledek mentertawakan masalahKu dan Dia yang terasa berat tapi seenak cangkem ditertawakan. Awas saja, tak suwek-suwek cangkeme.

HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA

“Nesu!” olok Vas Bunga Baby Rose. 
“Dan bilang pada koloniMu, agama dilarang parkir! Ini urusan cinta, toh? Bukan masalah akhirat-akhiratan.”


***

Aku dan Dia saling berpandangan dan kini sedang menabrakkan diri Kami ke arah tembok-tembok pemisah ruangan. Tempat dimana Aku ditempatkan bersanding dengan sesama Meja Kayu Jati Tua Berukir lainnya yang saling bercinta dengan sesama habitatnya.
Hanya Aku yang memilih jatuh cinta pada Dia, Kursi Minimalis Modern Artistik yang berbeda dengan koloniKu. Aku jatuh cinta. Dan saat ini, memilih rela mati demi cinta. Walaupun kakiKu kelak akan patah-patah setelah menabrakkan diri dengan keras. Aku rela. Asal Aku bisa membuktikan kedalaman perasaanKu pada Dia.

***

Dia. Menjadi Aku.
Dia bercerita sebagai Aku. Aku masih menunggu ceritanya dari balik tembok itu. Dia bilang banyak hal padaKu sebagai Aku.

“Jangan menyerah. KakiKu belom lah patah semuanya.”
“Aku hampir cacat.”
“Lebih baik cacat fisik daripada cacat nurani.”
“YAKIN?”

Dia terdiam. Memilih diam barangkali. Atau berusaha mencerna apa yang telah terlanjur diucapkannya kepadaKu. Dia masih diam. Memikirkan jawabannya. Salah tingkah. Serba salah, bisa jadi.

Aku menjadi Dia dan bertanya dengan suara mengharapkan jawaban pasti, “Mau sampai kapan?”

Kapan? Kapan? Kapan? Kapan?
Dan, Kami hanya terdiam. Ntah sampai kapan.

“YA SAMPAI AGAMA DILARANG PARKIR. ATAU MERRIED BY ACCIDENT,” ujar Vas Bunga Baby Rose menjawab sembarangan. “Hanya saran dari makhluk tak berperasaan lho, ya,” tambahnya lagi.

Aku dan Dia saling berpandangan dari celah tembok yang sedikit mengelotok.

***

[satu cerita pengisi malam tanpa kantuk. Denpasar, 30 Agustus 2009.]