
Ruangan ini terasa lengang. Menurutku. Mewah tapi hampa. Senyap dan tembok-tembok dinding tak terasa mempunyai senyawa. Nyaris mati tanpa suara. Frame berisi potrait dengan beragam ekspresi menghiasi dinding-dinding yang bersih tanpa sedikit pun coretan.
Hanya ada aku. Aku. Aku. Aku. Aku. Disini sendirian. Kesepian. Dan dibalik tembok sebelah sana ada Dia. Dia. Dia. Dia. DIA yang harusnya berada disini. BersamaKu.
****
Aku masih disini dengan tubuh tuaKu yang bergurat indah. Lekukan sempurna. Klasik. Mandiri. Tampaknya begitu. Pahatan indah Sang Maha membuatKu istimewa. Sempurna. Sempurna. Dan, semakin matang. Kedewasaan yang mengantarKu pada kematangan.
Atau jangan-jangan justru matang betulan akibat faktor usia. Ah, tak terasa semakin menuaKu tanpa Dia. Dia yang mengguratkan satu senyuman pada hatiKu yang kelabu.
****
“Mau bagaimana kita?”
“Kabur!”
“Iya. Tapi kemana?”
“Kawin lari saja.”
“Sinting, Kamu!”
“Lebih bikin sinting kalau Kita tetap disini!”
“Mmmm...”
“Aku sudah tidak kuat. Capek.”
“Kamu pikir Aku ngapain?”
“Mau berhenti?”
“Bodoh!”
“Lah, lalu apa?”
“Mati saja!”
“Kapan?”
Aku masih berpikir. Kapan, ya? Akan menjawab apa? Aku masih memperhitungkan jawabanKu dalam hitungan matematis.
“Kapan, ya?” tanyaKu.
“Sekarang saja,” kata HatiKu.
“Jangan deh. Kalau sekarang, Aku belum siap. Masih banyak yang harus Aku bereskan,” ujarKu.
HatiKu mendengar perkataan raguKu di balik semangatKu yang tadinya menyala-nyala bagai kobar api di tungku pemanas. HatiKu hanya menarik nafas dalam lalu mencoba menamparKu.
“Aduh!” ringisKu sambil mengelus pipi kanan.
“Sialan, Kamu!” makiKu.
“Kamu yang bangsat!!” ujar HatiKu.
“Kok AKU?” tanyaKu keras.
YA KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU BANGSAT!
Aku semakin ingin meremasnya menjadi sambal goreng saat itu juga. Dengan tatapan sadis Aku melihat kepadanya dan bersiap dengan sebilah pisau tumpul dan berkarat.
“Biar mati infeksi,” pikirKu.
Aku pun berjalan mendekat kepadanya bernada mengancam. HatiKu tampak tidak gentar. Bergeming. Tenang. Dia menarik rambutKu dan memaksa kepalaKu melihat ke arah Dia.
Dia yang masih berdiri disana menunggu jawabanKu.
“Kapan?”
“Mmmm...”
Aku hanya bisa diam mencoba mengarang jawaban.
“Mau ‘mmmm’ sampai kapan?”
“Pancen asu, kowe!” teriak maki HatiKu. “Mau ngambangin dia sampe kapan?”
Aku melirik gemas pada HatiKu dan akan berteriak tepat pada saat mobil box pindahan tepat berhenti di hadapan rumah. Aku panik. Panik sekali.
“Piye iki?” kataKu mencoba mengajak HatiKu berpikir.
Pintu dibuka dengan memaksa lubang kunci yang sudah macet untuk terbuka.
Klik. Klik. Krek.
Rombongan pengangkut barang pindahan masuk dan mulai melirik ke sekitar ruangan. Dia melihatKu masih menunggu jawaban.
“Kapan?”
Aku masih terpaku.
Baru akan menjawab tapi terlambat. TERLAMBAT. Dia, pasangan jiwaKu diseret dengan paksa keluar rumah. Suara teriakannya samar terdengar.
“Beri aku jawabanmu. Please!”
“Aa-ku...”
Brak. Pintu ruangan tertutup saat tak sengaja kaki Dia tersangkut di daun pintu. Aku pun terisak. Khawatir dia terluka.
“Aa-ku. Aku sayang kamu!”
TubuhKu bicara dengan suara bergetar menahan tangis pecah, tapi urung menangis saat melihat pintu kembali terbuka.
“Kamu kembali?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Diam. Tak lama, satu hantaman menghantam bagian kepalaKu dan Aku tak sadar apa yang terjadi setelahnya.
Aku mengira Aku mati saat itu juga tanpa pernah sempat mengungkapkan perasaanKu pada Dia. Mati dengan penuh penyesalan. Aku mati. Barangkali.
***
Beberapa tahun setelah kejadian di rumah kosong tak berpenghuni selain Aku dan Dia. Masa lalu. Tahun-tahun terbaik tanpa kepastian. Dan, hingga hari ini.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya!”
“Masih disana?”
“Ya!”
“Mau sampai kapan?”
“Sampai Aku tua dan membusuk!”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ambil satu keputusan!”
“Aku bingung.”
“Harus yakin!”
“Tak tahu caranya. Aku hanya ingin bersamamu.”
“Aku tahu. Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Singkirkan tembok ini agar kita bisa bersatu.”
“Caranya?”
Aku dan Dia sama-sama berpikir. Bagaimana mungkin Aku yang bertahun-tahun renta menunggu ini bisa mempunyai kekuatan untuk menembus tembok tebal yang memisahkan Aku dan Dia dalam ruangan yang berbeda. Aku dan Dia hanya bisa berkata, tapi tidak pernah bisa beraksi.
“Kita ini apa?”
“Sepasang kekasih.”
“Cintakah Kamu padaKu?”
“Apa yang Kamu rasa?”
“Nyaman.”
“Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Bagaimana caranya agar Meja Kayu Jati Tua Berukir ini bisa diterima oleh kaumMu Kursi Minimalis Modern Artistik?”
"Kamu yakin mau bersamaKu? Selamanya?"
"Iya."
"Demi Sang Designer?"
“Sang DesignerKu atau Sang DesignerMu? ”
"Mmmm,.."
“Gampang saja,” sebuah suara yang bukan suaraKu dan suara Dia terdengar.
Tiba-tiba Vas Bunga Baby Rose yang berada di sudut ruang ikut menjawab dengan suara polos dan tanpa ekspresi.
“Meja dan Kursi mau bercinta? Monggo!”
Segampang itu vas Bunga Baby Rose bertanya tanpa perasaan. Sama sekali tak berotak. Tidak berhati.
“Cinta cangkokan aja. Gampang, toh?”
“HAH?” ujarKu dan Dia berbarengan.
“Mingkem! Masalah kalian cuma itu kan?” ujar Vas Bunga Baby Rose dengan muka meledek mentertawakan masalahKu dan Dia yang terasa berat tapi seenak cangkem ditertawakan. Awas saja, tak suwek-suwek cangkeme.
HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA
“Nesu!” olok Vas Bunga Baby Rose.
“Dan bilang pada koloniMu, agama dilarang parkir! Ini urusan cinta, toh? Bukan masalah akhirat-akhiratan.”
***
Aku dan Dia saling berpandangan dan kini sedang menabrakkan diri Kami ke arah tembok-tembok pemisah ruangan. Tempat dimana Aku ditempatkan bersanding dengan sesama Meja Kayu Jati Tua Berukir lainnya yang saling bercinta dengan sesama habitatnya.
Hanya Aku yang memilih jatuh cinta pada Dia, Kursi Minimalis Modern Artistik yang berbeda dengan koloniKu. Aku jatuh cinta. Dan saat ini, memilih rela mati demi cinta. Walaupun kakiKu kelak akan patah-patah setelah menabrakkan diri dengan keras. Aku rela. Asal Aku bisa membuktikan kedalaman perasaanKu pada Dia.
***
Dia. Menjadi Aku.
Dia bercerita sebagai Aku. Aku masih menunggu ceritanya dari balik tembok itu. Dia bilang banyak hal padaKu sebagai Aku.
“Jangan menyerah. KakiKu belom lah patah semuanya.”
“Aku hampir cacat.”
“Lebih baik cacat fisik daripada cacat nurani.”
“YAKIN?”
Dia terdiam. Memilih diam barangkali. Atau berusaha mencerna apa yang telah terlanjur diucapkannya kepadaKu. Dia masih diam. Memikirkan jawabannya. Salah tingkah. Serba salah, bisa jadi.
Aku menjadi Dia dan bertanya dengan suara mengharapkan jawaban pasti, “Mau sampai kapan?”
Kapan? Kapan? Kapan? Kapan?
Dan, Kami hanya terdiam. Ntah sampai kapan.
“YA SAMPAI AGAMA DILARANG PARKIR. ATAU MERRIED BY ACCIDENT,” ujar Vas Bunga Baby Rose menjawab sembarangan. “Hanya saran dari makhluk tak berperasaan lho, ya,” tambahnya lagi.
Aku dan Dia saling berpandangan dari celah tembok yang sedikit mengelotok.
***
[satu cerita pengisi malam tanpa kantuk. Denpasar, 30 Agustus 2009.]
Hanya ada aku. Aku. Aku. Aku. Aku. Disini sendirian. Kesepian. Dan dibalik tembok sebelah sana ada Dia. Dia. Dia. Dia. DIA yang harusnya berada disini. BersamaKu.
****
Aku masih disini dengan tubuh tuaKu yang bergurat indah. Lekukan sempurna. Klasik. Mandiri. Tampaknya begitu. Pahatan indah Sang Maha membuatKu istimewa. Sempurna. Sempurna. Dan, semakin matang. Kedewasaan yang mengantarKu pada kematangan.
Atau jangan-jangan justru matang betulan akibat faktor usia. Ah, tak terasa semakin menuaKu tanpa Dia. Dia yang mengguratkan satu senyuman pada hatiKu yang kelabu.
****
“Mau bagaimana kita?”
“Kabur!”
“Iya. Tapi kemana?”
“Kawin lari saja.”
“Sinting, Kamu!”
“Lebih bikin sinting kalau Kita tetap disini!”
“Mmmm...”
“Aku sudah tidak kuat. Capek.”
“Kamu pikir Aku ngapain?”
“Mau berhenti?”
“Bodoh!”
“Lah, lalu apa?”
“Mati saja!”
“Kapan?”
Aku masih berpikir. Kapan, ya? Akan menjawab apa? Aku masih memperhitungkan jawabanKu dalam hitungan matematis.
“Kapan, ya?” tanyaKu.
“Sekarang saja,” kata HatiKu.
“Jangan deh. Kalau sekarang, Aku belum siap. Masih banyak yang harus Aku bereskan,” ujarKu.
HatiKu mendengar perkataan raguKu di balik semangatKu yang tadinya menyala-nyala bagai kobar api di tungku pemanas. HatiKu hanya menarik nafas dalam lalu mencoba menamparKu.
“Aduh!” ringisKu sambil mengelus pipi kanan.
“Sialan, Kamu!” makiKu.
“Kamu yang bangsat!!” ujar HatiKu.
“Kok AKU?” tanyaKu keras.
YA KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU. KAMU BANGSAT!
Aku semakin ingin meremasnya menjadi sambal goreng saat itu juga. Dengan tatapan sadis Aku melihat kepadanya dan bersiap dengan sebilah pisau tumpul dan berkarat.
“Biar mati infeksi,” pikirKu.
Aku pun berjalan mendekat kepadanya bernada mengancam. HatiKu tampak tidak gentar. Bergeming. Tenang. Dia menarik rambutKu dan memaksa kepalaKu melihat ke arah Dia.
Dia yang masih berdiri disana menunggu jawabanKu.
“Kapan?”
“Mmmm...”
Aku hanya bisa diam mencoba mengarang jawaban.
“Mau ‘mmmm’ sampai kapan?”
“Pancen asu, kowe!” teriak maki HatiKu. “Mau ngambangin dia sampe kapan?”
Aku melirik gemas pada HatiKu dan akan berteriak tepat pada saat mobil box pindahan tepat berhenti di hadapan rumah. Aku panik. Panik sekali.
“Piye iki?” kataKu mencoba mengajak HatiKu berpikir.
Pintu dibuka dengan memaksa lubang kunci yang sudah macet untuk terbuka.
Klik. Klik. Krek.
Rombongan pengangkut barang pindahan masuk dan mulai melirik ke sekitar ruangan. Dia melihatKu masih menunggu jawaban.
“Kapan?”
Aku masih terpaku.
Baru akan menjawab tapi terlambat. TERLAMBAT. Dia, pasangan jiwaKu diseret dengan paksa keluar rumah. Suara teriakannya samar terdengar.
“Beri aku jawabanmu. Please!”
“Aa-ku...”
Brak. Pintu ruangan tertutup saat tak sengaja kaki Dia tersangkut di daun pintu. Aku pun terisak. Khawatir dia terluka.
“Aa-ku. Aku sayang kamu!”
TubuhKu bicara dengan suara bergetar menahan tangis pecah, tapi urung menangis saat melihat pintu kembali terbuka.
“Kamu kembali?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Tidak ada jawaban. Diam. Tak lama, satu hantaman menghantam bagian kepalaKu dan Aku tak sadar apa yang terjadi setelahnya.
Aku mengira Aku mati saat itu juga tanpa pernah sempat mengungkapkan perasaanKu pada Dia. Mati dengan penuh penyesalan. Aku mati. Barangkali.
***
Beberapa tahun setelah kejadian di rumah kosong tak berpenghuni selain Aku dan Dia. Masa lalu. Tahun-tahun terbaik tanpa kepastian. Dan, hingga hari ini.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya!”
“Masih disana?”
“Ya!”
“Mau sampai kapan?”
“Sampai Aku tua dan membusuk!”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ambil satu keputusan!”
“Aku bingung.”
“Harus yakin!”
“Tak tahu caranya. Aku hanya ingin bersamamu.”
“Aku tahu. Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Singkirkan tembok ini agar kita bisa bersatu.”
“Caranya?”
Aku dan Dia sama-sama berpikir. Bagaimana mungkin Aku yang bertahun-tahun renta menunggu ini bisa mempunyai kekuatan untuk menembus tembok tebal yang memisahkan Aku dan Dia dalam ruangan yang berbeda. Aku dan Dia hanya bisa berkata, tapi tidak pernah bisa beraksi.
“Kita ini apa?”
“Sepasang kekasih.”
“Cintakah Kamu padaKu?”
“Apa yang Kamu rasa?”
“Nyaman.”
“Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Bagaimana caranya agar Meja Kayu Jati Tua Berukir ini bisa diterima oleh kaumMu Kursi Minimalis Modern Artistik?”
"Kamu yakin mau bersamaKu? Selamanya?"
"Iya."
"Demi Sang Designer?"
“Sang DesignerKu atau Sang DesignerMu? ”
"Mmmm,.."
“Gampang saja,” sebuah suara yang bukan suaraKu dan suara Dia terdengar.
Tiba-tiba Vas Bunga Baby Rose yang berada di sudut ruang ikut menjawab dengan suara polos dan tanpa ekspresi.
“Meja dan Kursi mau bercinta? Monggo!”
Segampang itu vas Bunga Baby Rose bertanya tanpa perasaan. Sama sekali tak berotak. Tidak berhati.
“Cinta cangkokan aja. Gampang, toh?”
“HAH?” ujarKu dan Dia berbarengan.
“Mingkem! Masalah kalian cuma itu kan?” ujar Vas Bunga Baby Rose dengan muka meledek mentertawakan masalahKu dan Dia yang terasa berat tapi seenak cangkem ditertawakan. Awas saja, tak suwek-suwek cangkeme.
HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA- HA-HA-HA-HA-HA-HA-HA
“Nesu!” olok Vas Bunga Baby Rose.
“Dan bilang pada koloniMu, agama dilarang parkir! Ini urusan cinta, toh? Bukan masalah akhirat-akhiratan.”
***
Aku dan Dia saling berpandangan dan kini sedang menabrakkan diri Kami ke arah tembok-tembok pemisah ruangan. Tempat dimana Aku ditempatkan bersanding dengan sesama Meja Kayu Jati Tua Berukir lainnya yang saling bercinta dengan sesama habitatnya.
Hanya Aku yang memilih jatuh cinta pada Dia, Kursi Minimalis Modern Artistik yang berbeda dengan koloniKu. Aku jatuh cinta. Dan saat ini, memilih rela mati demi cinta. Walaupun kakiKu kelak akan patah-patah setelah menabrakkan diri dengan keras. Aku rela. Asal Aku bisa membuktikan kedalaman perasaanKu pada Dia.
***
Dia. Menjadi Aku.
Dia bercerita sebagai Aku. Aku masih menunggu ceritanya dari balik tembok itu. Dia bilang banyak hal padaKu sebagai Aku.
“Jangan menyerah. KakiKu belom lah patah semuanya.”
“Aku hampir cacat.”
“Lebih baik cacat fisik daripada cacat nurani.”
“YAKIN?”
Dia terdiam. Memilih diam barangkali. Atau berusaha mencerna apa yang telah terlanjur diucapkannya kepadaKu. Dia masih diam. Memikirkan jawabannya. Salah tingkah. Serba salah, bisa jadi.
Aku menjadi Dia dan bertanya dengan suara mengharapkan jawaban pasti, “Mau sampai kapan?”
Kapan? Kapan? Kapan? Kapan?
Dan, Kami hanya terdiam. Ntah sampai kapan.
“YA SAMPAI AGAMA DILARANG PARKIR. ATAU MERRIED BY ACCIDENT,” ujar Vas Bunga Baby Rose menjawab sembarangan. “Hanya saran dari makhluk tak berperasaan lho, ya,” tambahnya lagi.
Aku dan Dia saling berpandangan dari celah tembok yang sedikit mengelotok.
***
[satu cerita pengisi malam tanpa kantuk. Denpasar, 30 Agustus 2009.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar