
Sebuah Kisah Cinta Berakhir Tanpa Awalan Disini.
Kutarik layar MIMPI dengan paksa, agar tak pernah tiba di daratan HARAPAN.**
‘Tepikan MimpiKU,,
Akan Ku-tepikan pria berhargaKu.
Pria bernama Mimpi yang ingin segera menghampiri butiran-butiran mutiara hidup yang Kuberi nama Harapan.
Kupaksakan Mimpi menepi sebelum dia sempat menyentuh daratan kehidupan yang penuh Harapan. Bukannya Aku tak ingin Mimpi terus berlayar sampai tujuannya. Aku sangat ingin. Tapi layar Mimpi belum terbukti cukup kuat untuk Kubiarkan berlayar sampai ke daratan Harapan.
Kehadiran Mimpi dengan sejuta pesonanya telah memacu fatamorganaKu untuk berkhayal lebih liar. Membiarkan anganKu terbang bebas tanpa aturan di awang-awang maya. Mimpi benar-benar membuai rasionalitasKu. Aku menikmati dan enggan beranjak pergi. Aku terus bermain di surga rekayasanya.
Indah. Sangat sangat indah.
Kunikmati rasanya Mimpi menggauli hariKu. Tak ingin kembali ke dunia nyata. 1/2 jiwaKu telah terpasung didalam pelukannya. Ingin terus berada dalam buaian asmara. Mimpi telah menjebakKu dalam sejuta pekat warnanya. Dia bersembunyi di dalam geliat alam bawah sadarKu. Muncul disaat-saat yang Aku inginkan. Datang menghantui kehidupanKu sesuka hatinya. Tidak lagi datang dengan rencana, seperti sebelumnya.
1/2 jiwaKu yang masih terbungkus logika bergerak merayap dengan pelan berusaha menggapai alam bawah sadarKu, menarik sekuat dia mampu, dan memaksaKu kembali ke alam sadar.
“Ayo, lihat Masa Depan. Jangan terus terbuai. Mimpi akan pergi sesukanya. Tapi tidak dengan Masa Depan. Bangun. Buka mata dan kembali ke kehidupanMu,” bisik 1/2 jiwaKu yang masih terisi logika.
“Terima kasih,”
UcapKu penuh ketulusan kepada JiwaKu yang masih disinari Harapan. Kepercayaan diri untuk menggenggam erat Masa Depan muncul begitu saja.
JiwaKu membisikkan sepenggal kalimat ditelinga Masa Depan. Wajahnya menyiratkan permohonan besar, “Kumohon, berikan pernghargaan terbesar pada Harapan. Jangan biarkan harap-Nya membusuk tanpa Masa Depan. Kumohon, dampingi Raga-Nya.”
Masa Depan mengangguk. Tersenyum menatapKu. Aku tak mampu membalas tatapannya. Secarik kertas berwarna putih dan bertuliskan kalimat sederhana dikantonginya di saku celana jeans-Ku.
“Aku akan bersama-Mu. Menemani-Mu. Mendampingi-Mu. Menjaga-Mu. SemampuKu. SebisaKu. Ajari Aku cara membahagiakan-Mu. Aku akan memenuhi rongga hidup-Mu dengan sinar Harapan berjanjikan Masa Depan. Jangan pernah lari dariKu, walau dalam keadaan sesulit apapun itu. Berjanjilah.”
Tak ada kata yang tepat untuk Kurangkai. SebisaKu, Kusimpan aura bahagia yang dipancarkan pipi-pipi kecilKu yang merona. Aku tersenyum memandang Harapan dan Masa Depan bergantian. Kurangkul bahu-bahu besar mereka. Aku ingin berteriak mengucapkan kalimat sakti yang Kupendam di rongga mulutKu, “Terima Kasih.”
Aku berpaling.
Disana, Mimpi masih menungguKu. Dengan tangan terbuka Dia ingin mengajakKu menikmati kenikmatan Dunia-Nya.
Aku menoleh kembali.
Di sisiKu, Harapan dan Masa Depan menatapKu dengan ketulusan. Mereka tersenyum.
Aku kembali berada di titik nol. Aku ingin terus terbuai Mimpi tapi Aku tidak bisa mengacuhkan permohonan yang dibisikkan Harapan pada Masa Depan.
RohKu kembali terjaga. Aku kembali bisa merasakan udara pengap di ruang Hati kecilKu.
Aku berkali-kali melirik ke arah Mimpi, Harapan, dan Masa Depan bergantian.
Mimpi terus berusaha membujukKu dengan pemikatnya.
Harapan menatapKu dengan pengertian, “Keputusan ada ditangan Kamu, sekarang!”
Masa depan menyunggingkan senyuman dalam sebuah siratan yang dapat Kutangkap maksudnya.
Mimpi, Harapan, dan Masa Depan memiliki arti tersendiri di dalam hidupKu. Mereka telah memberi banyak arti dan mempersembahkan kebahagiaan dengan cara yang berbeda. Aku meresapi dengan pasti setiap guliran waktu bersama. Aku bergeming. Diam memikirkan langkahKu.
“Aku harus bagaimana?” bisikKu sembunyi-sembunyi pada jiwaKu.
“Ikuti kata hatiMu. Dia tahu apa maunya,” balas JiwaKu.
“HatiKu tidak bisa memilih,” tandasKu.
“Buka mataMu. Ikuti pendar sinarNya. Dia akan tahu jalannya,” nasehat JiwaKu.
“MataKu tiba-tiba menjadi buta!” engganKu.
“Kalau begitu, tanyakan padaKu, Jiwa pasti bisa menuntunMu!” tegas JiwaKu.
Aku tidak percaya dan malah berbalik teriak membantah inginnya JiwaKu.
“Haruskah Aku percaya?” tanyaKu pada Jiwa.
“Jiwa tidak pernah berbohong sekalipun Raga tak bernyawa. Hati mungkin masih bisa mencoba menaifkan pilihannya. Tapi tidak dengan Jiwa. Jiwa selalu mengisi Raga dengan binar-binar kehidupan. Raga bisa mati, tapi tidak dengan Jiwa. Percaya padaKu!” ujar JiwaKu menceramahiKu dengan petuah bijaknya.
Aku kembali terdiam. “Bisakah Kuikuti saran Jiwa?” pikirKu berulang kali.
Berikutnya, Kucoba memaki Waktu. Mengacak-acak ruangnya mencari kesalahannya. Ingin rasanya membanting Waktu. Agar Dia tidak datang pada saat Aku berpapasan dengan Mimpi, agar terus membiarkanKu membaktikan setiaKu pada Masa Depan.
Kuterdiam cukup lama.
Mencoba mencermati fase kehidupan yang telah Kulalui bersama Waktu. Waktu terpaku di depanKu menanti dengan sabar amarahKu yang akan meledak. Menunggu dengan tenang sebuah tamparan melayang dari tanganKu. Aku memandangnya dalam, masih mencari sela menjadikannya kambing-hitam dari semua prahara yang berkecamuk di dalam duniaKu. Waktu masih menunggu, hingga Aku berbalik melotot setengah murka merasakan sebuah tamparan untuk menyadarkanKu.
“Mau menunggu berapa lama lagi untuk mencari penyesalan? Masih ingin menyalahkanKu?” tanya Waktu dengan keras kepadaKu.
BibirKu tidak jadi memaki. Kutarik segera kata-kataKu. Kuputar otakKu untuk berpikir.
“Maafkan Aku. Ini bukan salah Kamu. Waktu berjalan begitu saja. Iya, kan?” tanyaKu.
“Jangan pernah mencari kesalahan dari sudut manapun. Tidak Waktu, tidak Tempat, tidak Keadaan, tidak juga HatiMu, bahkan jangan pernah menanyakan jawabannya pada Tuhan-Mu,” bijak Jiwa menimpali pembicaraanKu dengan Waktu.
“Lalu, ini salah siapa? SalahKu kah?” tanyaKu semakin tidak mengerti.
“Ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya Jalan Tuhan. Setiap pertemuan pasti menyimpan sebuah rencana,” usaha Jiwa menenangkanKu.
“Rencana? Rencana apa?” tanyaKu semakin tak sabar.
“Biarkan Aku yang menjawab semua pertanyaanMu. Nanti. Suatu saat. Pasti!” timpal Waktu.
“Kamu?” tanyaKu tidak percaya pada Waktu.
“Ya! Aku! Lewat Waktu-lah, Tuhan menjawab semua rahasia hidup ini,” tandas Waktu mengakhiri perbincangan.
“Akan sampai kapan?” kejarKu.
Waktu berjalan meninggalkanKu yang masih bertanya dalam ketidakpuasan. Waktu melenggang pergi, kembali ke peraduannya. MeninggalkanKu yang masih diselimuti pertanyaan besar. Jiwa masih berdiri menghadap ke arahKu berusaha menggandengKu.
Kubiarkan Jiwa menggandengKu dengan kelembutannya. Hanya dia yang mungkin bisa mengerti gemuruh yang terjadi di dalam sana. Di dalam JiwaKu. Bahkan bisik kecil HatiKu yang tidak terucap jelas.
“Jangan biarkan kebingungan tak berakhir ini menyembunyikan pesonaMu. Kembalilah pada kehidupanMu. Carilah kebahagiaan lewat HatiMu sendiri. Aku yakin, Kamu bisa. Hadapi segala kemungkinan. Kamu terlalu kuat untuk menyatakan menyerah. Ini hidupMu,” yakin Jiwa menenangkanKu.
Aku kembali memandang Mimpi, Harapan, dan Masa Depan untuk ketiga kalinya. Aku cari jawaban lewat mataKu. Kudengarkan Hati menyamakan pilihannya. Kupaksakan Hati memberikan jawaban terjujurnya. Hati menjawab dengan pasti kali ini.
“Aku setuju dengan pilihanMu,” ujar Hati dengan tegas padaKu.
“Kamu yakin ini pilihan yang tepat?” tanyaKu memastikan.
“Hidup harus memilih. Keyakinan adalah kunci pilihan, bukan?” Hati balik bertanya.
Aku mengangguk dengan cepat. Kuberikan senyuman terbaikKu pada Hati. Kubisikkan ucapan “Terima Kasih” lewat kerlingan mataKu. Hati membalas dengan sebuah anggukan.
Aku berjalan mendekati Mimpi dan Masa Depan. Harapan memandang dengan penuh degupan ke arah langkahKu. Harapan membiarkan bibirnya tak henti memanjatkan sebuah doa agar Aku bisa mengambil keputusan terbaik untuk hidupKu.
Aku melangkah semakin dekat. Degup jantung Harapan terdengar semakin keras. Kekhawatirannya melebihi kekhawatiranKu. Aku yakin, Harapan menyimpan kecemasannya sendiri untuk kebahagiaanKu.
“Deg. Deg. Deg.”
Ini bunyi jantungKu yang berdetak lebih cepat ketika pilihan akan Aku tentukan.
Aku mendaratkan sebuah ciuman tulus di dahi Masa Depan. Lalu menggandengnya. Masa Depan memelukKu dalam sebuah kehangatan yang menjalari seluruh aliran syaraf RagaKu. Kehangatan yang Kukenal jauh sebelum Mimpi menghampiri.
Aku kenal rasanya saat bersama Masa Depan.
Gemuruh perasaan yang Kurasakan 1.5 tahun bersamanya. Desahan nafas yang Kukenal hawanya. Degupan jantung yang Kuhafal ritmenya. Tatapan mata yang mampu Kuartikan seluruhnya. Pelukan itu mengembalikan semua perasaan yang hampir hampa saat Mimpi datang menyapaKu.
Aku biarkan tangan Masa Depan terus menggandengKu. Kuajak Dia menghampiri Mimpi. Masa Depan menggeleng, melepaskan genggamanKu dan membiarkanKu mendekati Mimpi sendiri. Aku yakin Masa Depan akan mengatakan, “Ini urusan Kamu dan Dia. Selesaikan dengan cara Kamu.”
Aku sangat yakin.
Kumenoleh ke arah Masa Depan memastikan jawabannya. Masa Depan mengangguk, bibirnya bergerak mengucapkan, “Aku percaya Kamu!”Pernyataan yang cukup untuk membuatKu yakin melangkah menyelesaikan hubungan yang ada diantara Aku dan Mimpi selama ini.
Kudekati Mimpi.
Wajahnya masih menyiratkan sebuah keinginan agar Aku bersedia menari-nari dalam DuniaNya. Menemaninya sepanjang waktu menjelajah hari. Mimpi adalah kenikmatan bagiKu, membuatKu mabuk kepayang. Tapi bagaimanapun indahnya Mimpi, Aku harus segera bisa kembali menghadapi kenyataan. Kehidupan sebenarnya tidak seindah tawaran Mimpi.
Aku hampir tak mampu mengucapkan sepatah kata pun ketika wajahKu dan wajah Mimpi berhadapan. Siratan harap terpancar jelas dalam keseluruhan bahasa tubuh yang Mimpi tunjukkan. Tapi, keputusan harus segera Aku berikan. Aku sudah memilih, bukan?
Aku coba berjinjit untuk menggapai telinga Mimpi untuk membisikkan kalimat yang Aku tidak ingin semua orang tahu, “Maafin Aku, ya? Aku memilih bersama Masa Depan Bukan karena Harapan. Tapi HatiKu-lah yang memilih. Tapi, tetap tersimpan ruang kecil dalam WaktuKu untuk Kamu. Terima Kasih untuk semua kebahagiaan ini dan mengajakKu bermain di Taman Mimpi bersama-Mu.”
"Terima kasih!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar