Jumat, 25 September 2009

Tampon dan Kondom.


“Negatif? Positif? Negatif atau Positif ya?” Deg deg deg. “Satu garis merah atau dua garis ya?” Saat-saat mendebarkan antara ingin melihat atau ngga. Berjuta perasaan yang muncul bersama debaran ini ingin sekali rasanya saya bunuh.

***


Saya dan testpack kini telah menjadi sahabat yang saling percaya. Gimana ngga? Dulu iklan testpack hanya saya lihat di televisi dan beberapa sempat saya lihat di surat kabar. Iklan-iklan produk ini kerap saya acuhkan. Saya melihatnya dengan sebelah mata walaupun tanpa berkata-kata melecehkan, hanya saja (seperti) berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan memilihnya menjadi sahabat dalam waktu dekat.

Ya, itu dulu.

Ketika kata “bermain kelamin” masih berada jauh di luar dunia saya. Saya masih seorang gadis yang lugu, tapi tidak naif memandang hidup. Saya mempunyai prinsip bahwa kelamin akan diajak bermain jika waktunya tepat dan bersama orang yang tepat dalam sebuah ikatan yang kuat. Tentu saja ini sebuah janji tulus yang saya buat dengan sesadar-sadarnya ketika saya berusia di awal 20 tahunan.

Hingga, pada satu hari dimana saya mulai menangis karena panik mengetahui siklus bulanan saya sudah telat lebih dari dua minggu. Tanda-tanda akan mens belum sedikit pun terasa menyiksa. Payudara yang biasanya membengkak dan sakit beberapa hari menjelang hari H yang dulu sering membuat saya jengkel, saat itu kehadirannya menjadi sangat saya rindukan. Bahkan penderitaan akibat pinggang yang pegal, yang dulu rasanya ingin saya lepas dan tinggalkan di kamar agar tidak mengganggu aktivitas pun saya doakan kehadirannya.

Andai saja waktu itu saya masih seorang gadis yang memegang teguh idealisme untuk tidak bercanda dengan kelamin lawan jenis sebelum waktunya, tentunya saya tidak perlu sepanik itu. Saya hanya perlu menunggu dan positive thinking karena tidak ada yang perlu ditakuti, toh siklus menstruasi saya memang belum teratur sesuai hitungan 28 hari.

Tapi itu semua menjadi lain ceritanya ketika saya tahu bahwa penyebab telatnya tamu tetap saya adalah karena sesuatu yang saya sadari. Kesadaran bahwa kenikmatan 10 menit itu harus saya bayar dengan tangisan, amarah, dan ketakutan. Saya pun tidak henti-hentinya menyalahkan pacar yang waktu itu tidak bisa menahan nafsunya. Lalu memaki diri sendiri karena terlalu rapuh dan tidak bisa mengendalikan hasrat.

Andaikan saya masih bisa kembali ke masa dimana keputusan bodoh nan nikmat itu kami buat tanpa logika dan hanya mengandalkan rasa.

(Kembali ke alam nyata).
Bersama pacar, usaha pun dilakukan. Saya mencoba memancing menstruasi dengan berbagai macam cara, mulai dari mencoba kapsul telat bulan sampai jamu racikan peluruh. Mencari mbok jamu gendong keliling sampai mendatangi depot jamu acungan jempol rekomendasi seorang tukang pijit. Tanpa hasil. Browsing di internet pun menjadi alternatif berikutnya untuk mencari cara agar mens bersedia mampir bulan itu. Sebuah situs memaparkan ramuan untuk memancing agar mens yang telat bisa keluar. Saya coba dan masih tidak menunjukkan hasil. Terlalu takut untuk memeriksakan diri ke dokter.

Hampir putus asa dan mencari jalan untuk menghadapi orang tua jika memang ternyata saya hamil.

Lalu, sebuah keputusan akhir yang awalnya dianggap ide cemerlang untuk mendapatkan validitas pun (terpaksa) dilakoni. Keputusan yang membuat saya (berusaha) memutuskan semua urat malu dan menguburkannya di dalam sebuah tempat tersempit di dalam organ tubuh saya. Apotek kecil yang sedikit jauh dari tempat tinggal pun saya dan pacar datangi.

Dengan wajah ramah, apoteker menanyakan, “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Raut wajah saya yang sedari masuk apotek terlihat tegang mungkin bisa dirasakannya. Saya yakin, apoteker pasti bisa merasakan kegalauan saya. Rasa canggung. Rasa rikuh. Dan rasa malu yang tidak bisa saya sembunyikan.

“Mmm, testpack-nya satu, Bu.”

Apoteker paruh baya itu melihat ke arah saya dengan penuh ketenangan. Tak lama sebuah testpack yang sering saya lihat di televisi sudah berada di hadapan saya. Dengan malu-malu saya menerimanya dan menggenggam erat-erat kantong plastik pembungkus berwarna hitam sambil menyodorkan sejumlah uang.

“Ibu sudah tahu cara penggunaannya?” tanya apoteker dengan ramah.

Dahi saya seketika mengernyit. Saya sedang memikirkan sebuah kata, “Ibu?” secepat itukah sapaan Mbak berubah menjadi Ibu hanya karena sebuah testpack? Apakah wajah saya terlihat sedang merindukan seorang bayi? Atau malah terlihat sedang ketakutan menghadapi kehadiran seorang bayi?

Saya berpikir akan bohong atau jujur saja?
Jujur ini kali pertama buat saya. Lalu, saya memilih mengangguk dan pergi sambil tersenyum kaku. Testpack benar-benar telah membuat saya ingin membenamkan kepala saya kedalam tanah. Kebodohan nan nikmat yang harus saya bayar dengan banyak hal membuat saya merasa terlalu berat mengangkat wajah saya untuk melihat wajah apoteker yang hampir seumur Ibu saya.

Saya menutup gordyn jendela kamar dengan rapat dan tidak lupa mengunci pintunya. Dengan seksama saya membaca cara pemakaian testpack perdana ini. “Test harus dilakukan dengan memasukkan testpack kedalam urine, dan sebaiknya pada saat buang air kecil pertama kali di pagi hari setelah bangun tidur.”

Deg deg deg.
Tak sabar menunggu pagi dan merindukan sinar matahari menyelinap masuk melalui gordyn yang sedikit tersingkap.

(Inilah saatnya).
Jantung saya berdegup kencang. Kencang sekali. Saya menunggu hasilnya selama lebih kurang lima menit. Dalam hati saya berdoa, “Negatif. Negatif. Tolong jangan positif, Tuhan.”

Deg deg deg.
Dengan memberanikan diri saya melihat hasilnya. Satu garis merah muda muncul dengan sangat jelas. Saya kembali berdoa, “Jangan muncul satu garis lagi. Satu saja sudah cukup, Tuhan.”

Dan ketakutan itu berakhir sudah. Saya keluar toilet dengan wajah penuh senyuman mengucap syukur di dalam hati, “Terima kasih, Tuhan.”

Hari itu, merupakan hari pertama saya berkenalan dengan sahabat baru saya, testpack. Saya dan testpack telah menjadi sahabat yang saling percaya sejak hari itu. Pengalaman menggunakannya pertama kali membuat kami berangkulan layaknya sepasang sahabat.

Namun, seperti umumnya persahatan dengan sahabat-sahabat saya yang lain, persahabatan saya dengan testpack pun tidak harus selalu ditandai dengan intens-nya pertemuan, tapi saya akan kembali padanya disaat saya membutuhkannya, menjaga rahasia saya dan menenangkan saya dari sebuah ketakutan.

Tapi mengunjunginya di apotek tetap menimbulkan rasa malu tak ada habisnya. Bahkan mencobanya tetap menimbulkan debaran yang sama. “Negatif? Positif? Negatif atau Positif, ya?”


**sekelumit cerita dari balik tampon dan kondom milik seorang teman*
[lily nailufar, 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar